Tawaran itu membuahkan buku perdananya berjudul “Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa” yang mengangkat tema inner child terluka dan toxic parenting. Kedua tema ini tengah jadi kegelisahan banyak orang yang menyadari bahwa semasa kecil mereka mengalami pengasuhan toksik yang berimbas pada cara hidup mereka di masa dewasa.
Sebelum menulis buku ini, Patres menuliskan beberapa artikel di beberapa media tempatnya bekerja tentang pengasuhan toksik yang dialami dirinya dan beberapa orang lain.
Betapa cara asuh merusak proses perkembangan seseorang bahkan sampai ia memiliki anak. Luka masa kecil juga tidak akan sembuh hanya karena tahun yang berlalu, ia membekas dalam diri seseorang.
Baca juga: “Hybrid learning” sebagai penunjang PTM secara optimal
Butuh kesadaran dan pengetahuan bakal mengakui bahwa luka itu masih ada dan memengaruhi hidupnya. Jikalau tidak, lalu luka itu akan diteruskan pada keturunannya kelak. Luka masa kecil yang tidak tersembuhkan akan berlanjut menjadi toksik parenting.
Siklus ini hanya dapat berhenti bila sebuah generasi mulai menyadari isu ini dan mau membicarakannya secara terbuka. Dengan demikian, membicarakan luka masa kecil merupakan upaya bakal menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan.
Patres yang bertahun-tahun terjun sebagai jurnalis di berbagai media mengaku sama sekali tidak terpikir bakal membuat buku, tetapi seusai ditawari dia menyadari boleh jadi saja ada orang lain yang juga punya pengalaman serupa soal luka masa kecil, tetapi merasa sendirian dan tidak diakui.
“Jadi, saya berpikir bahwa tulisan ini dapat aja membantu mereka nggak merasa begitu lagi, dan buat awareness bagi teman-teman juga yang struggling dengan inner child issues atau kali jadi orang tua dengan masih membawa trauma,” kata Patres kepada (BERITA24).

Dalam buku bergenre psikologi setebal 248 halaman ini, Patres mengajak pembaca bakal bersikap terbuka dan mengakui bahwa pengasuhan toksik dapat berdampak panjang pada kehidupan orang dewasa. Patres menggunakan cerita-cerita pribadinya sebagai cermin atas pengalaman banyak orang.
“Tentunya saya nggak berpretensi jadi pakar psikologi atau parenting dalam menulis. Saya membagi sebagian pengalaman sendiri dan kawan-kawan, berlanjut mengelaborasinya dengan sejumlah referensi psikologi dengan gaya tulisan jurnalistik sesuai background pekerjaan saya,” papar lulusan Universitas Indonesia ini.
Cerita pribadinya merupakan pengalaman universal semua orang. Meski demikian, naskah ini tidak terjebak pada cerita pribadi saja, melainkan juga disertai dengan referensi ilmu psikologi sebagai acuan bagi pembaca. Dengan demikian, format buku ini merupakan semi personal literatur dan keilmuan psikologi.
“Seperti halnya banyak penulis lain yang mengisahkan pengalaman hidup mereka, saya hendak menelanjangi diri lewat tulisan ini, menjadikannya rentan terhadap apa pun seusai sekian lama membangun benteng dengan kawat berduri. Jelas saja ini tidak mudah karena berkaitan dengan keluarga sendiri,” ujar Patres.
Meski menulis artikel merupakan makanan sehari-hari untuknya, menulis buku ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkali-kali dia merasa buntu karena rasa sakit yang muncul kali mengulas pengalaman masa berlanjut. Ia pun kerap meragukan pikiran sendiri sehingga harus bolak-balik baca referensi dan konsultasi dengan psikolog.
“Berlanjut di tengah masyarakat yang sekarang mulai familier dan sering memakai istilah ‘toksik’, tentu ada kritik soal itu: sedikit-sedikit bilang toksik,” katanya.
“Dalam menulis ini saya bukannya mau mengglorifikasi atau asal tuding tiap orang tua salah sedikit itu toksik, bukan sama sekali mau mendemonisasi orang tua juga. Bagaimanapun, enggak ada yang 100 persen hitam putih termasuk orang tua.”
Ia hanya hendak berbagi sudut pandang lain sebagai seorang anak yang dapat jadi mewakili sebagian anak lainnya yang sering bungkam dan lama membawa-bawa trauma.
Ia berharap buku ini dapat memberi perspektif kepada pembaca yang merasa punya luka di masa lampau yang belum sembuh, serta dapat jadi “teman” yang membantu bakal melihat ulang pengalaman masa berlanjut dengan kacamata baru.
“Memulihkan diri dari luka pengasuhan itu penting nggak cuma buat diri sendiri, tetapi juga orang lain, terutama kala memilih jadi orang tua nantinya,” tutup dia.
Baca juga: Peningkatan kualitas SDM dimulai dari kesehatan generasi muda
Baca juga: Lima cara ajak anak masuki dunia ilmu pengetahuan
Baca juga: Picu minat ilmu pengetahuan anak lewat beberapa kiat ini
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
COPYRIGHT © (BERITA24) 2021
Sumber Berita : Antaranews.com