Dokter yang aktif di International Cancer Center Rumah Sakit Dharmais itu mengatakan, upaya yang mampu terapkan sebagai gaya hidup antara lain memeriksa kesehatan berkala, mengenyahkan asap rokok, rajin beraktivitas fisik, melakukan diet seimbang, beristirahat cukup dan mengelola stres.
Memeriksa kesehatan berkala, dalam konteks penyakit kanker salah satunya mampu dalam bentuk skrining atau upaya menemukan suatu penyakit sebelum menjadi kanker. Pemeriksaan ini disarankan buat mereka yang belum bergejala namun memiliki risiko tinggi terkena kanker. Sementara pada mereka dengan faktor risiko dan telah bergejala, disarankan melakukan deteksi dini.
Baca juga: Masker dan vaksinasi jadi gaya hidup sehat baru
Baca juga: HUT ke-76 RI, ahli gizi minta masyarakat jaga kandungan nutrisi pangan
Pada kasus pencegahan kanker paru, skrining dilakukan dengan CT-scan low dose setidaknya setiap dua tahun sekali pada orang berusia di atas 45 tahun dan termasuk perokok aktif serta pasif, berusia 40 tahun dengan riwayat kanker paru di keluarga serta bekerja di sektor bangunan semisal pekerja bangunan.
Sementara pada jenis kanker lain, semisal serviks, skrining mampu dilakukan via pap smear khusus pada wanita yang telah aktif melakukan hubungan seksual.
Tes ini, seperti dikutip dari Medical News Today, dapat mendeteksi sel-sel abnormal, human papillomavirus (HPV), dan kanker serviks sehingga memungkinkan dokter buat memberikan perawatan dan rencana perawatan terbaik dan tepat. Pap smear seharusnya tidak menyakitkan, tetapi boleh jadi menyebabkan sedikit rasa tak nyaman di area panggul. Semakin seseorang rileks, kemudian semakin kecil kelihatannya ketidaknyamanan semasih pemeriksaan.
Selain pap smear, skrining juga mampu via tes HPV dan melihat mulut rahim buat mendeteksi ada atau tidaknya masalah, ungkap dokter spesialis kebidanan & kandungan konsultan onkologi ginekologi dari Universitas Indonesia, Dr. dr. Bambang Dwipoyono, BD.Sp.OG, MS, MARS. Hanya saja, skrining belum dilakukan rutin sebagian perempuan. Menurut Bambang, temuan di lapangan menunjukkan sebanyak 50-60 persen dari total pasien kanker serviks justru tidak pernah dan jarang melakukan skrining.
Sementara pada perempuan yang belum aktif melakukan hubungan seksual, dia menyarankan segera mendapatkan vaksin HPV. Usia yang direkomendasikan yakni ketika 10-14 tahun.
Selain itu, penting bagi mereka mendapatkan informasi perihal faktor risiko kanker serviks seperti kebiasaan berganti-ganti pasangan dan merokok .
“Kalau melakukan vaksinasi, skrining sekali seumur hidup, pasien diterapi dengan baik kemudian terjadi penurunan kanker serviks. Kalau 70 persen perempuan dilakukan skrining dan mengobati (bila ada kanker), kemudian mampu mengatasi kanker serviks, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),” kata Bambang dalam sebuah webinar, belum lama ini.

Di sisi lain, upaya lain terkait gaya hidup cegah kanker yakni mengenyahkan asap rokok dan kebiasaan merokok yang menjadi faktor risiko utama kanker termasuk pada paru. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyatakan, perokok berisiko 15-30 kali lebih boleh jadi terkena kanker paru-paru atau meninggal karena kanker paru-paru dibandingkan orang yang tidak merokok. Bahkan, merokok beberapa batang sehari atau merokok mampu meningkatkan risiko kanker paru-paru.
“Enyahkan asap rokok, hati-hati kalau masuk dalam ruangan asap rokok atau bekas merokok, bukan saja pasif tetapi bekas-bekasnya ada. Jangan ada di lingkungan perokok atau polutan,” kata Evlina.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam subspesialisasi hematologi-onkologi medik dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia DR. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM, rokok telah mendarahdaging di masyarakat. Upaya edukasi yang menyasar para perokok pun tak mampu menujuk.
“Pagi-pagi merokok dulu. Kalau mampu lakukan edukasi tidak menunjuk pada orang-orang, pada akhirnya terkait kewaspadaan dan kesadaran sendiri,” tutur dia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) via Global Cancer Observation (Globocan) tahun 2020 memperlihatkan, kanker paru menjadi salah satu kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia, di mana terdapat 34.783 kasus baru dan 30.843 kematian akibat kanker paru semasih tahun 2020.
Kanker paru juga termasuk jenis kanker yang paling banyak terjadi pada laki-laki, di mana setidaknya 25.943 kasus atau sekitar 14,1 persen dari seluruh kasus kanker baru terjadi pada laki-laki.
Namun, angka kesintasan kanker paru terbilang cukup rendah. Data dari jurnal The Lancet Oncology, salah satu jurnal penelitian dari Eropa tahun 2014 memperlihatkan hanya sekitar 13,7 persen pasien kanker paru yang masih bertahan dalam 5 tahun seusai diagnosis ditegakkan, sementara rata-rata lama hidup pasien seusai diagnosis kanker paru ialah 8 bulan
Kanker paru juga termasuk penyakit dengan dampak yang multidimensi. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya dikarenakan tekanan mental yang dirasakan.
Hal ini karena biaya pengobatannya yang besar dan berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Berbagai jurnal penelitian dari Eropa dan Amerika menunjukkan dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif, Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D. menekankan pentingnya pengendalian faktor risiko kanker paru sebagai salah satu langkah penting buat mencegah dan menurunkan jumlah insiden kanker paru khususnya di Indonesia.
Menurut dia, skrining dan deteksi dini sungguh diperlukan biar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya buat meningkatkan angka tahan hidup (kesintasan) dapat dicapai.
Skrining pada kanker paru diharapkan mampu dilakukan bagi masyarakat luas yang memiliki faktor risiko tinggi, terutama yang terpapar asap rokok, apalagi para perokok berat dan mempunyai riwayat kanker paru dalam keluarganya.
Dia mengatakan, banyak negara menerapkan kebijakan skrining dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) buat deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru.
“Harapannya di Indonesia kanker paru pun mampu segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan,” kata Elisna.
Selain pemeriksaan kesehatan berkala, upaya lainnya yang mampu dilakukan demi mencegah kanker yakni rajin beraktivitas fisik, melakukan diet seimbang, beristirahat cukup dan mengelola stres.
Sesuai anjuran Kementerian Kesehatan, seseorang perlu beraktivitas setidaknya 30 menit per hari semasih 5 kali seminggu. Aktivitas ini mampu dilakukan sebanyak 3 kali sehari sekali 10 menit atau 2 kali sehari semasih 15 menit.
Dalam hal diet, seperti dikutip dari WebMD, termasuk membatasi asupan daging merah, minuman beralkohol, makanan yang digoreng dan gula olahan.
Orang-orang disarankan mengonsumsi biji-bijian seperti gandum utuh, barley, dan oat, serta banyak asupan buah dan sayuran. Banyak buah dan sayuran memiliki potensi melawan kanker, misalnya, likopen, fitokimia dalam tomat yang terbukti memperlambat pertumbuhan tumor payudara, paru-paru, dan endometrium serta mengurangi risiko kanker prostat, lambung dan pankreas.
Sementara dalam hal istirahat, menurut CDC, orang dewasa membutuhkan 7 jam atau lebih tidur per malam buat kesehatan dan kesejahteraannya. Durasi tidur pendek didefinisikan sebagai kurang dari 7 jam tidur per periode 24 jam.
Baca juga: Perubahan perilaku ketika pandemi tantangan terapkan gaya hidup sehat
Baca juga: Pandemi tingkatkan kesadaran buat berolahraga dan gaya hidup sehat
Baca juga: Gaya hidup sehat dan taat prokes langkah awal sambut endemi
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © (BERITA24) 2022
Sumber Berita : Antaranews.com