Menurut Mira, sebaiknya datangi fasilitas kesehatan yang tersedia dokter forensik. Namun kalau tidak ada, umumnya setiap fasilitas kesehatan memiliki penanganan terhadap korban-korban kasus kekerasan.
“Terdapat tata laksana yang dilakukan oleh dokter forensik kala menangani korban kekerasan seksual ialah melakukan anamnesis, alur kejadian, perlakuan yang didapat serta dilakukan pemeriksaan fisik,” kata dia dalam siaran pers RSUI, dikutip Rabu.
Dokter nantinya mengidentifikasi kelainan ataupun luka yang ada, mencatat dan medokumentasikannya. Menurut Mira, dalam proses tersebut, korban atau pelapor tidak perlu khawatir karena tenaga kesehatan memiliki kode etik dan kewajiban buat merahasiakan apa yang diceritakan korban, serta dokumentasi yang diambil.
Pada kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak, seringkali sulit buat mengidentifikasi sebab mereka cenderung tidak mengetahui dan tak dapat mengungkapkan apa yang mereka alami.
Dalam hal ini, terdapat cara deteksi paling dini atau yang dapat dilihat secara kasat mata tanpa aduan anak ini mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, misalnya kalau secara fisik boleh jadi ada nyeri masa buang air kecil atau besar, walau tanda tersebut bukan senantiasa menjadi hal utama.
“Buat menghadapi anak-anak kita tidak dapat langsung menanyakan hal-hal tersebut dengan cara mengintrogasi. Namun dapat dengan cara stimulasi anak seperti mengajak menggambar, bermain boneka sehingga dapat tertuang apa yang sebenarnya terjadi,” kata Mira.
Bila hendak meminta dokter mengeluarkan visum et repertum, lalu Anda perlu melakukan pelaporan ke polisi terlebih dahulu. Polisi akan mengeluarkan surat permintaan visum dan dokternya akan menjawab surat permintaan tersebut dengan visum et repertum. Namun bukan berarti kalau tidak ada surat permintaan visum pemeriksaan tidak dapat dilakukan.
“Pemeriksaan dapat tetap dilakukan, semua dicatat secara lengkap di dalam rekam medis kemudian dilakukan dokumentasi yang diperlukan,” tutur Mira.
Biasanya kalau datang ke fasilitas kesehatan tanpa ada surat permintaan visum tetapi hendak dilakukan pemeriksaan forensik klinik buat keperluan visum di kemudian hari, pasien akan diberikan resume medis, seperti surat keterangan medis.
“Jadi sebenarnya bentuk suratnya saja yang berbeda. Disarankan atau diedukasi kepada korban atau keluarga atau pendamping korban buat melakukan pelaporan ke polisi dengan membawa resume medis tersebut. Nanti polisi akan membuatkan surat pernyataan visum dan baru akan dikeluarkan visum et repertum oleh dokter forensik,” saran Mira.
Visum et repertum dalam proses peradilan dan penyidikan dapat menjadi alat bukti yang sah dan memiliki kedudukan lebih tinggi karena didalamnya jelas tertulis Pro Justitia yang artinya demi kepentingan hukum.
Pembiayaan visum et repertum tidak ditanggung oleh BPJS atau asuransi lainnya. Mira mengatakan, pembiayaan terkait kasus-kasus kekerasan seksual biasanya dari APBD atau APBN atau kementerian-kementrian yang bekerjasama dan juga dana dari kepolisian buat kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
Surat keterangan medis ini dapat menjadi pegangan buat melaporkan kejadian ini, sehingga sebaiknya simpan baik-baik. Mira mengingatkan, pemeriksaan di fasilitas kesehatan akan menghasilkan bukti yang sungguh penting buat mendukung proses pelaporan atau perkara yang diajukan.
“Buat beberapa kasus seperti kasus pemerkosaan, pemaksaan persetubuhan dimana terjadi ejakulasi atau keluarnya cairan mani atau sperma mandi sebenarnya memang menghilangkan barang bukti yang eksternal, sehingga hanya mengandalkan bukti yang internal yang didalam senggama atau dalam area vagina,” kata Mira.
Langkah berikutnya yang dapat Anda lakukan buat menolong korban yakni mencari pertolongan psikis dan sosial karena boleh jadi korban mendapat perlakuan tidak menyenangkan justru dari orang-orang terdekat.
Kekerasan seksual masih terjadi di masyarakat. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2021 menunjukkan, prevalensi kekerasan seksual menurun, namun bukan berarti kasusnya tidak ada.
Ruang lingkup kekerasan seksual tidak hanya pada kasus pemerkosaan, namun juga terkait suatu kasus yang terjadi pada anak-anak, perempuan atau bahkan laki-laki yang mengalami perlakuan tidak nyaman atau tidak senonoh terkait dengan kegiatan seksual.
Kekerasan ini dapat berbentuk pemaksaan berhubungan seksual, pelecehan yang bersifat fisik maupun psikologis,pencabulan, sodomi, eksploitasi terhadap kekerasan seksual misalnya perdagangan orang yang terkait dengan prostitusi.
Baca juga: KPPPA: Anak korban kekerasan seksual dapat menjadi pelaku masa dewasa
Baca juga: Puan sambut jaringan pembela hak korban kekerasan seksual di paripurna
Baca juga: Psikolog: Anak korban kekerasan seksual harus dirangkul
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © (BERITA24) 2022
Sumber Berita : Antaranews.com