Ketika ini, tren berpakaian genderless fashion banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Tren tersebut yaitu kala suatu produk fesyen tak lagi hanya terfokus ke gender tertentu. Namun menurut Musa, tren tersebut harus dibedakan dengan gerakan kesetaraan gender atau emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh Ibu Kartini.
“Harus dibedakan ya. Kita nggak mampu menggabung-gabungkan antara misalnya feminisme, kemudian gerakan kesetaraan gender, kemudian fesyen, itu mesti dipisahkan,” kata Musa kala dihubungi (BERITA24), Rabu.
Lebih lanjut Musa menjelaskan, bila berbicara tentang fesyen ala Kartini lalu akan berkenaan dengan kebaya dan kain panjang. Akan tetapi bila berbicara mengenai semangat yang dimiliki oleh Ibu Kartini, lalu hal tersebut berkenaan dengan emansipasi yang diperjuangkan.
Sehingga menurut Musa, kedua hal tersebut yaitu nilai yang berbeda dan tidak mampu disatukan.
“Jadi nggak mampu digeneralisasi, dijadikan satu. Karena intinya yaitu kalau kita bicara mengenai Kartini itu yaitu kebaya. Kalau berbicara mengenai fesyen, kebaya dan kain panjang,” ujar Musa.
“Tetapi Kartini itu kalau berbicara mengenai spirit, itu berbicara mengenai kebebasan berperilaku, berpendapat, memperoleh pendidikan dan lain sebagainya yang harus setara atau sama dengan pria,” tutupnya.
Baca juga: Perbedaan “genderless fashion” dan “androgynous fashion” menurut pakar
Baca juga: Di Hari Kartini, Burberry sajikan kekuatan adaptasi perempuan
Baca juga: Buruh gendong Beringharjo, sehari mencicipi arena “catwalk”
Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © (BERITA24) 2022
Sumber Berita : Antaranews.com