Buat meluncurkan produk digital yang berdaya guna tinggi dengan kapabilitas baik, startup digital perlu memiliki susunan tim kuat yang berisi developer atau pengembang perangkat lunak. Fakta di lapanga menunjukkan, sulit sekali bakal bisnis menemukan talenta developer berkualifikasi tinggi bakal mengakselerasi pengembangan produk.
Ada dua alasan utama yang melandasi hal ini. Pertama stoknya memang tidak banyak dan mereka harus bersaing dengan perusahaan besar yang terus merekrut talenta developer. Kedua, startup pemula yang hendak merekrut developer perlu memikirkan banyak aspek, salah satunya terkait feeyang harus diberikan.
Sebenarnya sebagai startup ada beberapa hal yang mampu diandalkan dalam merekrut developer. Dalam sebuah survei yang dilakukan HackerRank, ditemukan data menarik berkaitan dengan apa yang menjadi prioritas seorang developer saat mencari pekerjaan. Di posisi pertama ada “good work-life balance”, yakni perihal sebuah lingkungan kerja yang menyajikan keseimbangan (terkait dengan waktu) antara bekerja dan berkehidupan. Yang kedua ialah kesempatan bakal pengembangan dan belajar. Kompensasi atau gaji justru berada di urutan ketiga.
Startup sebagai sarana pengembangan diri
Di tahap awal, katakanlah telah dalam seed-stage, fokus startup merupakan bagaimana mematangkan produk dari pasar dan model bisnis yang tervalidasi. Dinamika masih akan sering terjadi, perihal fitur atau fungsionalitas sistem, sehinngga peran software developer cukup kritis di fase ini. Pasca MVP (Minimum Viable Product) digulirkan, reaksi pasar juga akan memberikan masukan terhadap pengembangan produk. Intinya developer yang direkrut tampaknya tidak akan bekerja santai di fase ini.
Jikalau melihat kondisi di atas, jelas sekali bahwa startup mampu menawarkan ruang bakal berkembang. Kerap ada tantangan baru dan ide-ide yang rajin muncul dalam proses pengembangan di tahap awal tersebut. Terlebih kalau startup juga tengah mengikuti program akselerasi, lalu ruang bekerja bagi developer turut menjadi ruang belajar yang sungguh baik, karena konsepnya “learning by fighting”. Justru yang sulit dijawab ialah bagaimana menyajikan ruang kerja yang seimbang, memberikan banyak keleluasaan bagi developer bakal menjalani kehidupan maupun hobinya. Cara terbaik yang mampu dilakukan ialah dengan memahami dan mengaplikasikan metodologi pengembangan yang tepat.
Menurut Risman Adnan, Direktur R&D di Samsung R&D Institute Indonesia, hukum mendasar yang harus diikuti para founder dan engineer bakal menghasilkan produk berkualitas ada tiga faktor, yakni hire great engineer (pengaruh terhadap kualitas produk 40%), set engineering culture (30%), dan commitment to the right process (30%). Ketika proses pertama mampu dilalui dengan adanya ketersediaan developer dalam bisnis, lalu PR-nya merupakan poin kedua dan ketiga.
Kultur bukan soal teknologi, tetapi soal prinsip-prinsip dasar yang menyatu dengan aktivitas keseharian tim. Bukan pula konsep teoritis, tetapi mindset dan aktivitas yang dilakukan secara terus menerus. Karena ini mencakup culture of learning, engineering, communication, trust, time management dan lain-lain. Sedangkan komitmen dalam proses berpengaruh pada metodologi dan tools yang paling sesuai dengan people dan culture startup, yang dapat memfasilitasi proses mencakup fase perencanaan, analisis, desain, konstruksi, pengujian dan iterasi perbaikan.
Kultur kerja menciptakan “work life balance”
Jikalau digabungkan, kultur dan proses yang benar menyumbangkan persentase mayoritas (60%) dalam melahirkan produk aplikasi yang berkualitas. Dan dua faktor tersebut didesain oleh sistem kerja yang ada dalam startup itu sendiri. Faktor penentunya justru pada founder startup. Jikalau tengah dalam program akselerasi, kultur pengembangan ini, berkaitan dengan pemilihan metodologi, mampu didiskusikan dalam proses pendidikan yang berlangsung. Tanyakan kepada mentor yang berpengetahuan teknis kalau founder tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pengembangan perangkat lunak.
Mengapa metodologi penting bakal dianut dalam sebuah proses? Jikalau tidak memiliki proses yang sesuai, tentu produk akan menjadi carut-marut alias tidak terukur perkembangannya, dan kalau tidak sesuai metodologinya mampu jadi prosesnya menjadi lebih lama.
Terkait metodologi, Co-Founder & CIO Bizzy.co.id Norman Sasono menuturkan bahwa metodologi dalam pengembangan perangkat lunak didesain bakal melayani tim. Tim dengan pola berbeda, sifat produk yang berbeda, akan membutuhkan metodologi yang berbeda pula, harus disesuaikan.
Buat startup, menurut Norman, jangan pernah menggunakan metode waterfall, karena tidak sesuai dengan startup yang sedang dalam proses penemuan model bisnis yang tepat. Tidak sesuai dengan model pengembangan produk yang masih sering harus memperbaiki masukan dari pengguna. Sedangkan SCRUM merupakan salah satu yang sesuai. SCRUM membagi bakclogs produk dalam beberapa capaian yang pendek. Beberapa capaian pertama tim harus menghasilkan MVP, kemudian berlari lagi menghasilkan rilis lainnya.
Sehabis memiliki metodologi dan mengimplementasikan, lantas yang harus dilakukan founderialah menciptakan pola kerja disiplin. Dari situ manajemen waktu akan lebih terukur, setiap proses dapat lebih terpantau, dan bagi developer pun akan mendapatkan pola kerja yang lebih baik.
Yang harus diperhatikan
Di tahap awal, dengan kondisi finansial yang harus diperhitungkan secara ketat, model talent acquisition atau “bajak-membajak talenta” bukan menjadi cara yang sehat bakal merekrut developer. Di sisi lain, startup juga membutuhkan developer berkualitas supaya produknya mampu segera diluncurkan. Merekrut developer pemula atau berpengalaman sedang merupakan pilihan yang biasanya diambil, lantas bagaimana cara bakal memastikan kinerjanya baik? Ada beberapa hal fundamental yang mampu diperhatikan, selain dari sisi kultur tadi di atas.
Hal tersebut merupakan tuntun supaya developer tersebut memiliki proses yang sistematis dalam melakukan pengembangan. Umumnya developer yang baru terjun ke dalam dunia bisnis mereka masih berpikir pragmatis ala “code first, think later”. Kebiasaan tersebut tidak mampu dibawa seutuhnya dalam pengembangan sebuah produk berbasis pangsa pasar. Sebaliknya, kecepatan kode bukanlah sesuatu yang harus rajin di urutan pertama, namun ada sebuah proses yang harus dilakukan yakni memahami konteks permasalahan bakal menghasilkan ketelitian spesifikasi dan desain.
Istilah full-stack developer juga erat dengan developer di tahap new entry, yakni mereka bekerja “serabutan”, tidak fokus pada satu permasalahan. Misalnya mereka tetap mengerjakan backend, manajemen database, hingga desain frontend. Jikalau benar hendak merekrut developer bakal dijadikan full-stack, disarankan bakal memilih yang berpengalaman. Namun kalau dikaryakan dalam role yang spesifik, misalnya hanya bakal mendesain antarmuka aplikasi, lalu mampu merekrut developer pemula. [ds/ap]